Selera Kita Kepada Sinema

Bro, menurut lu film paling bagus yang pernah lu tonton apaan bro?” Tanya gue kepada teman yang baru – baru ini jadi aktivis sinematografi.

Apa ya lang, banyak sih yang bagus, jadi pusing sendiri” Jawab teman dengan jawaban yang sangat Cuma – Cuma

 “Minimal, akibat lu nonton film itu, kehidupan lu jadi berubah gitu” Ujar gue dengan sok tau.

Cuma Illustrasi Yang Cuma Cuma 

Oke, dialog diatas memang sangat dilematis bagi sebagian banyak orang yang menganggap film itu sesuatu hal yang paling wahid dan obat mujarab untuk mengalihkan pikiran dan masalah dari realitas kehidupan. Kalau ditanya tentang pertanyaan diatas, memang kebanyakan orang akan menjawab film yang baru – baru ini ditonton.

Tempo hari yang lalu, saya Tanya kepada beberapa teman menjawab film yang paling bagus menurut dia itu The Raid. Untuk ukuran film Indonesia itu memang bagus,tetapi dari segi selera kebanyakan orang yang menganggap film action itu tabu pasti tidak akan menjawab bahwa film The Raid itu bagus. Ada juga yang menjawab film Help (2011), Pursuit Of Happyness, The Shawshank Redemption (1994) dsb. Itu saja berbeda genre film.

Kalau ditarik dari pertanyaan diatas, film yang paling bagus dari beberapa genre, mungkin akan dijawab per-genre untuk film – fim terbaik. Misalnya, dari segi genre pendidikan, seperti saya akan menjawab film Freedom Writers (2007). Itu saja sudah mewakili sebagian selera saya tentang beberapa film yang bagus. Ada juga seperti Biografi Individu maupun kelompok (band). Masih banyak film dari beberapa genre yang bagus untuk disimak.

Bagi saya, film yang bagus itu harus mengubah hidup seseorang pula. Lebih baik kearah yang positif, coba kalau kau cari film dengan genre motivasi atau pendidikan atau sci-fi. Itu akan merubah kita ke hal – hal positif. Tapi film juga bisa merubah hidup ke negative lewat sajian film action maupun kehidupan remaja pada medio 80-90’an.

Saya pernah bicara sama teman yang sedang menonton film local berjudul “Perahu Kertas”. Saya bilang begini. “Mbak, filmnya yang bisa buat mikir dong” Tukas gue dengan nada sombong. “Ah, kita mah nonton film yang enteng – enteng aja gum” Jawabnya, Gue sempat berpikir, bahwa film memang sesuai selera si konsumen film dan kadang ada konsumen film yang mengambil sisi hiburannya saja yang penting pikiran dia bisa beralih. Intinya sih itu. Tapi saya berterima kasih dengan film, Biar begitu, film juga banyak jasanya. Hehehe. 

Ya, yang tidak bisa dibeli itu hanya satu yaitu "selera" mau kata kita bagus itu objek, maua kata dia bagus itu objek kalau selera sudah bicara itu sudah tidak bisa diganggu gugat. Bahkan kalau ditanya artis paling cantik di indonesia ini, situ juga pasti bingung jawabnya karena banyak pilihan yang cantik bahkan pasti berbeda pula jawabannya. Mungkin itulah faktor "Selera" kita. 

Hubungan Kita Tidak Progresif Revolusioner

Kakak kelas. Oh kakak kelas. Ungkapan melankolis dari jargon para adik - adik yang mencintai atau dicintai kakak kelas. Dinamika asmaranya banyak. Kadang ada juga yang terjatuh karena cinta. Hahaha. Saya tidak pernah pacaran dengan seorang kakak kelas. Dari dini hingga kini. Mungkin hanya sekedar pengagum saja, sampai ke jenjang yang lebih tinggi sih tidak. Sudah beberapa bulan ini, saya selalu ada intensitas komunikasi dengan kakak kelas. Kakak kelas kampus. Tidak usah disebutkan namanya, tidak etis. 

Awalnya, saya memang kagum sama dia, interval dua sampai empat tahun, barulah saya menjalin komunikasi lewat salah satu instant messaging. Selama kita komunikasi  hasilnya gitu -gitu aja tidak ada progress, ini yang membuat saya agak ragu juga untuk memantapkan pilihan. Pertama, saya masih ada keraguan karena saya takut bunuh diri dari lingkar ekonomis. Kedua, dia bukan tipe mudi lagi, sudah berpikir ke pelaminan. Ketiga, apa ya? Bingung ah! hahaha. Pokoknya, banyak alasan yang dibuat - buat dan juga memang begitu adanya. 

Bukan Illustrasi hanya Imajinasi


Jadi, dia ragu saya pun ragu. Hasilnya, kita sama - sama ragu. Sampai ini pun, hubungan kita masih flat tanpa diintervensi kondisi. Saya berpikir, saya harus memantapkan ekonomi dahulu. (Idealnya sih begitu kan) tapi kalau memang ada  relawati yang sukarela sih itu rezeki asmara. Hahahaha. Intinya, hubungan ini hanya main - main yang sekali kali saya permainkan dan juga permainan dia. Bingung ya? Udah ah, makin kesana - kemari nulisnya. 


Aku Dalam Bingkai Ramadhan

Saya tidak tau apakah saya, kakak, ibu, ayah serta sanak saudara saya masih bisa dipertemukan kembali oleh ramadhan, semoga saja Allah swt masih bisa memberikan kesempatan yang sebanyak – banyaknya. Amin.

Bicara idul fitri, kurang greget kalau tidak bicara kampung halaman. Ya, sewaktu belia saya sering diajak ayah dan ibu saya untuk bertandang ke sanak saudara di dearah jawa barat. Dari Tasikmalaya, Kuningan sampai Banten. Yang bikin saya rindu hanya suasana hari lebaran disana begitu berbeda kalau di komparasikan dengan di Jakarta.

Mungkin yang lebih hebat kalau seni mudik atau pulang kampung itu untuk satu tujuan, karena memang mau bertemu keluarga terutama orang tua. Rasa idul fitrinya memang berbeda dan banyak cerita di perjalanan untuk menuju kampung halaman.

Sewaktu belia, saya memang pemalu bahkan untuk ikut orang tua berkunjung ke sanak saudara terlalu malu. Entah mengapa, saya takut tidak dihargai saja pikir saya waktu itu. Misalnya, saya tidak dikasih uang lebaran sama sanak saudara saya. Hahaha. Memang karena begitu adanya saya, jadi perlahan demi perlahan saya memberanikan diri untuk berhadapan dengan saudara maupun orang lain demi bisa silaturahmi di hari lebaran.

Terkadang, saya tidak tau mengapa, menginjak usia belasan juga saya malu untuk salam – salaman dengan tetangga dan orang – orang yang sedang silaturahim keliling. Mungkin, lucunya kalau sudah salaman dengan satu orang ditempat pertama eh malah salaman lagi di tempat kedua, hahaha. Tengsin mah ada sih. Tapi, mau dikata apa, ibarat semut aja, sekali ketemu orang langsung salaman, entah dia kita kenal atau tidak.

Cerita dihari lebaran memang menarik, banyak cerita hura maupun haru. Saya terkadang berpikir juga, haru tangis selalu ada di hari yang fitri ini. Dulu, saya intens sekali mendengar jeritan tangis antar ibu ke ibu. Tapi tangis itu hanya ada di hari yang fitri. Kisah salaman hanya simbolis juga sering terjadi, hanya mampu berucap di bibir namun sirna dihati.


Saya sih bersyukur saja karena lebaran 1346 Hijriyah ini saya masih bisa merasakan dan menikmati euforianya. Saya juga masih dipertemukan terus dengan sanak family dari segala sudut kota. Alhamdulillah.