Fiksi dan Fiktif Dua Kata Yang Membuat Dikotomi Anak Bangsa

Jumat, April 13, 2018

Mula -mula kedua kata itu menjadi polemik setelah diucapkan oleh Rocky Gerung. Dasar masalahnya ada pada kata - kata yang keluar dari Mulut Prabowo ketika Pidato. Katanya, Indonesia akan bubar pada tahun 2030. Masyarakat tiba - tiba menyorot pernyataan keras Prabowo. Ramai - ramai ada yang bilang bahwa itu buku Fiksi kenapa Prabowo mengutip dari sebuah Novel Fiksi. Itu awal masalah kenapa Fiksi dan Fiktif itu menjadi trending topik.

Mereka semua berpendapat dengan seisi pengetahuan yang ada dikepalanya. Bagaimana dengan saya? Sebenarnya, secara otoritas, seharusnya yang mengurai ini adalah ahli bahasa. Karena menurut saya, masyarakat sudah tidak percaya dengan yang namanya kamus. Padahal, kamus adalah kesepakatan bersama pada sikap tertentu, kali ini mereka sepakat bahwa fiksi dan fiktif itu sudah dijabarkan di KBBI. Namun, manusia indonesia masih saja berpolemik.

Ya, masing - masing memang punya pendapatnya sendiri. Kalau KBBI saja masih bisa diperdebatkan, lantas dimana yang benar itu? Menurut saya, yang benar itu di meja pengadilan. Karena masyarakat hari ini sudah tidak bisa berkompromi lagi, karena mereka berada di antara kubu - kubu politik. Polarisasi menjalar ke akar rumput. Akibatnya, perdebatan publik terjadi dimana - mana. Konteks dua kata itu menjadi makanan kata di media sosial. Mereka saling klaim. Klaim bahwa dia yang betul dan dia yang benar.

Dua kata itu akan hilang seiring isu - isu yang sedang berjalan, tidak ada yang benar dan salah. Tidak ada yang menang dan kalah. Bagi saya, fiktif dan fiksi itu hanya berbeda di beberapa kata. Dalam sumbu bahasa keduanya punya definisi tersendiri. Masalahnya, harus ada kongres yang menyepakati bahwa kedua kata itu punya arti yang benar - benar dipahami semua publik dunia. Khususnya Indonesia.

Kalau merujuk pada kamus dunia misalnya bahasa inggris, kata itu punya maknanya sendiri yang bisa dipahami publik. Kalau di Indonesia, walau ada kamus tapi berdebat adalah jalan yang asyik menurut mereka, karena yang lebih sialnya lagi. Bukannya berdiskusi, malah berlomba cari panggung siapa yang bisa bui Rocky Gerung. Terkait tesisnya.

Harusnya berdiskusi, karena menghargai daya pikir itu lebih penting daripada harus menjual daya intelektual untuk hal - hal yang seharusnya tidak terjadi.

Saya tidak punya argumentasi dan solusi terkait fiksi dan fiktif itu benar dikatakan Rocky Gerung atau tidak. Karena sebagian bilang itu menista kitab suci, sebagian bilang itu tidak menista. Kebenaran akhirnya menjemput dari meja pengadilan.

Semoga masih ada yang bisa berdiskusi.


Terima Kasih Sudah Membaca

0 comments